Ela dan Lia
Cerpen: Agustina Sinar Giyan Saputri (PGSD Kelas 1E)
Namaku Ela, gadis 15 tahun. Anak tunggal dari sebuah keluarga sederhana yang tinggal di sebuah pedesaan yang jauh dari peradaban. Saat umurku menginjak 3 tahun, Ayahku meninggal karena sebuah kecelakaan. Aku tinggal bersama dengan Mama. Namun, aku merasa kurang diperhatikan dan selalu merasa sendiri. Aku bukan tipe anak yang mudah bergaul dengan orang lain. Bahkan bisa dibilang sulit mempunyai teman. Aku dikaruniai sebuah kemampuan bisa melihat apa yang kalian tidak bisa lihat yang pada awalnya aku tak menyadari itu.
Ketika usiaku beranjak 5 tahun, aku melakukan sebuah kesalahan. Di sekolah, aku memukul temanku yang mengejekku “anak aneh”. Karena marah, aku reflek memukul wajahnya. Saat itulah sekolah memanggil Mama dan membawaku pulang. Karena Mama menilai tindakanku adalah tindakan yang sudah keterlaluan, Mama menghukumku dengan menempatkanku di loteng rumah yang minim cahaya dengan tujuan agar aku segera sadar akan kesalahanku dan tidak mengulanginya. Aku menangis sendiri di dalam loteng rumah. Saat itulah aku mendengar sebuah suara yang memanggilku.
“Hey,” suara samar nan lembut itu menghentikan tangisanku. Aku takut dan malah semakin menangis dengan kencang.
“Jangan menangis, aku tahu kamu sedang bersedih. Berhentilah menangis dan jadilah temanku mulai sekarang. Aku tak akan membiarkanmu menangis mulai sekarang dan siap menjadi pelindungmu,” suara itu kembali muncul.
Aku yang ketakutan memberanikan diri untuk menelisik asal usul suara tersebut. Dengan berbekal keberanianku, aku membuka mata sembabku dan mulai mencari asal usul suara misterius tersebut. Setelah kucari, ternyata suara itu tepat berada di sampingku.
Aku melihat seorang anak perempuan yang kira-kira umurnya tak jauh denganku saat itu. Wajahnya cantik dan manis. Ketakutanku pun sirna seketika.
“Janganlah menangis dan tersenyumlah. Kau sangat jelek ketika sedang menangis,” katanya dengan nada mengejek.
Akhirnya, aku memberanikan diri untuk bertanya kepadanya. “Kamu siapa?” tanyaku dengan penasaran.
“Aku Lia.”
“Aku Ela.”
“Aku sudah tau. Hahaha,” sahutnya.
“Bagaimana kamu tau? Darimana datangmu? Mengapa kau bisa berada di dalam loteng rumahku?”, tanyaku dengan penasaran.
Namun Lia hanya memberi senyuman hangat kepadaku. Aku tak terlalu memedulikan hal itu. Aku memanggil Lia dengan sebutan “kakak” karena perawakannya yang lebih besar dariku.
Paling tidak sekarang aku tidak lagi merasa kesepian dan menemukan teman baru. Dan begitulah akhirnya aku mendapatkan teman baru di sebuah loteng rumahku.
Hari-hari selanjutnya, Lia selalu ada di sampingku benar-benar seperti penjagaku. Aku merasa telah menemukan teman yang cocok untuk berbicara denganku. Aku akhirnya mulai banyak berbicara dengannya, padahal aku termasuk anak yang tidak terlalu suka berbicara dengan orang lain. Aku bercerita banyak hal kepada Lia. Begitu pula sebaliknya.
Mama yang melihatku pun merasakan adanya kejanggalan. Ia mengatakan bahwa aku kerap sekali berbicara dan tertawa sendiri. Aku menjelaskan bahwa aku sedang berbicara dan tertawa bersama kakakku. Mama merasa aneh dengan sikapku belakangan ini, juga karena aku mengatakan bahwa aku memiliki seorang kakak padahal aku adalah anak tunggal.
Hari selanjutnya, Mama mendatangkan seorang psikiater dan memeriksakanku. Padahal aku merasa baik-baik saja namun bingung mengapa Mama memanggilkanku seorang psikiater. Kami bertiga duduk di meja makan. Saat itu, Lia sedang tidak berada di sampingku. Namun tak lama kemudian dia telah berada di sampingku dengan menarik kursi dan duduk di sebelahku. Aku sangat senang akhirnya Lia kembali di sampingku.
Mama dan seorang psikiater tersebut bertatapan kebingungan. Karena yang dilihatnya hanyalah sebuah kursi yang bergerak sendiri. Mereka tidak dapat melihat Lia yang menggerakkan kursi tersebut.
Aku menjelaskan kepada mereka bahwa ada kakakku di sebelahku. Mereka masih tetap tak percaya. Karena tak mau masalah bertambah rumit, aku memutuskan pergi ke kamar saja bersama dengan Lia. Sementara Mama dan psikiater tersebut masih saling bicara.
“Bu, sepertinya anak ibu ini adalah anak yang istimewa. Dia bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat,” kata psikiater.
“Maksud Anda bagaimana ya?” tanya Mama dengan raut muka yang masih kebingungan.
“Indigo. Itulah maksud saya. Ela dibekali kemampuan yang tidak semua orang bisa dapatkan. Saya berharap Anda dapat lebih memperhatikan Ela dan mulailah membangun hubungan yang erat dengannya. Saya sarankan Anda dan Ela menikmati quality time bersama. Itu demi kebaikannya. Saya permisi.” Kira-kira begitulah kata seorang psikiater tersebut dan pergi meninggalkan rumah kami.
Aku sedang bermain di kamar bersama Lia. Tak lama kemudian, Mama masuk ke kamar dan berbicara denganku.
“Ela, Bagaimana kalau kita berlibur berdua?” tanya Mama.
“Mama kenapa? Biasanya tidak seperti ini. Kenapa tiba-tiba?” tanyaku. Biasanya Mama sering mengabaikanku. Namun sekarang, dengan tiba-tiba mengajakku berlibur berdua. Aneh.
“Tidak apa-apa. Kita jarang sekali menikmati waktu bersama. Mama mempunyai ide untuk mengajakmu berlibur berdua bersama Mama. Juga agar hubungan kita dapat semakin dekat. Bagaimana?” pinta Mama kepadaku.
“Baiklah, aku menurut saja,” jawabku mengiyakannya karena tak biasa menolak permintaannya.
Begitulah akhirnya kami berlibur berdua. Sebenarnya tidak benar-benar berdua. Bertiga. Aku, Lia, dan Mama. Liburan yang asyik sekaligus menyenangkan.
Hari-hariku kujalani dengan baik. Hubunganku dengan Mama makin membaik seperti orangtua dan anak yang seharusnya. Tahun-tahun berganti dan aku mulai bertumbuh menjadi gadis remaja. Aku kebingungan melihat Lia yang tidak bertumbuh menjadi lebih tinggi sepertiku. Jika kulihat-lihat, badannya masih sama seperti aku bertemu dengannya pertama kali. Padahal 10 tahun telah berlalu.
Aku bertanya dengan Mama kenapa kakakku tidak bertumbuh sepertiku. Mama mengatakan bahwa besuk aku akan diberitahu hal yang sebenarnya. Seperti biasa, aku mengiyakan apa perkataan Mama. Keesokan harinya, setelah sekian lama akhirnya Mama membawa kembali orang yang dianggapnya bisa menyembuhkanku. Orang-orang menyebutnya “Mbah Karto”. Ia merupakan “orang pintar” yang direkomendasikan oleh teman Mama agar dapat menyembuhkan dan menyadarkanku. Seperti biasa, aku hanya menurut saja.
Mbah Karto mendekatiku dan berkata kepadaku, “Nduk, Mbah akan memperlihatkanmu sesuatu yang sebenarnya kepadamu.” “Iya Mbah, saya menurut saja.” Seperti biasa, aku hanya menurut. Ditemani Lia, aku mengiyakan apa yang dikatakannya. Aku tak bisa mengerti apa yang diucapkan Mbah Karto. Kata Mama, Mbah Karto sedang membElakan doa dan mantra, aku hanya diminta untuk diam dan menunggu. Mbah Karto membElakan doa dan mantra menggunakan media air. Setelah selesai, Aku diminta untuk mendekat kepada Mbah Karto dan dibasuhnyalah wajahku menggunakan air yang telah didoakan dan diberi mantra olehnya.
Setelah mukaku dibasuh, aku melihat Lia berlumuran darah. Pakaiannya lusuh berlumuran tanah dan darah. Kepalanya tidak lagi menyatu dengan tubuhnya. Bau anyir memenuhi seluruh ruangan di mana kami berada. Aku yang terlalu kaget akhirnya berteriak dan jatuh pingsan.
Setelah aku siuman, ternyata Mama telah memutuskan untuk membeli rumah di sebuah perkotaan. Dan pada hari ini juga, Mama membawaku berpindah rumah dan meninggalkan rumah di pedesaan yang jauh dari peradaban ini. Dan sejak saat itu, aku tak dapat lagi melihat Lia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar